Kesempatan Pertama
Selembar kertas dari puluhan
kertas yang ditempel pada papan pengumuman kantor itu memuat nama-nama kami dan
menjadi awal kisah indah perjalanan kami, yang tak pernah mengenal satu sama
lain sebelumnya.
Semenjak kertas itu terbaca,
seolah kertas itu memaksa kami untuk segera bertemu dan berkenalan satu sama
lain, saya mencoba untuk menjadi orang yang ramah kepada orang-orang yang
namanya juga termuat diatas kertas yang sama denganku, kukeluarkan gadgetku dan
kemudian mulai menghubungi mereka serta memberi tau bahwa kita akan menjalani
hidup bersama selama beberapa ratus atau mungkin ribu jam kedepan.
Sebuah langkah berani yang aku
buat, karena aku bukanlah tipe orang yang mudah ramah dengan orang yang belum
kukenal atau belum pernah berkomunikasi sebelumnya, apalagi sampai mengajak
bertemu.
Mereka merespon positif kabar
dariku, serta menyapaku dengan sangat ramah melalui pesan mereka, hingga akupun
menginisiasi pertemuan pertama kami hanya sekedar untuk berkenalan. Semenjak
saat itu menjadi oaring yang bersikap ramah kepada orang yang baru dikenal adalah
sebuah keharusan bagiku.
Selepas dari pertemuan pertama
itu kami berhasil menyepakati pertemuan kedua, hingga tibalah kesempatan kedua
untuk saling mengenal lebih dalam dan berdiskusi ringan, ya sebagai mahasiswa,
berdiskusi merupakan sebuah sikap ilmiah yang harus dilakukan atau bisa disebut
sebuah tindakan wajib. Di tengah diskusi yang hangat aku tersontak dengan
keputusan mereka menunjuk diriku sebagai representasi kelompok ini, aku tak
mengerti pertimbangan apa yang ada didalam otak mereka. Aku mencoba
menerka-nerka saja, mungkin karena sikap inisiatifku beberapa hari yang lalu
dan memang saat itu aku juga mengambil inisiatif untuk menjadi moderator
diskusi.
Hingga semuanya representasi kelengkapan
selesai disepakati, mulai dari pemegang anggaran, pengatur administrasi dan
sebagainya, kami melanjutkan diskusi kami mengenai logistic apa saja yang akan dipersiapkan. Semua dibagi atas
kemampuan setiap individu dikelompok ini, mulai dari alat memasak, dan
kelengkapan lainnya, hingga besaran dana yang harus dipersiapkan untuk
kebutuhan hidup selama disana nanti.
Ditengah hangatnya diskusi yang
kami lakukan, tiba-tiba ada suatu komentar yang sangat menggelitik muncul “saya
bawa kipas angin ya” ucap tria. Secara spontan kamipun tertawa terbahak-bahak
atas komentarnya tersebut, bagaimana tidak karena kami akan berangkat menuju
sebuah daerah yang terletak persis di kaki gunung dempo.
Lalu salah satu dari kami
berkomentar “mau ngapain bawa kipas, kurang dingin ya disana” dengan nada
sedikit meledek. Ha ha ha entah mungkin apakah dia begitu polos atau hanya
sekedar terucap tidak sengaja, bahkan mungkin lupa jika kipas angin tidak dapat
menaikan suhu ruangan menjadi hangat.
Situasi yang akan membuat tertawa
geli ketika diingat. Semuanya telah
didiskusikan dan kamipun membubarkan diri untuk menyiapkanya.
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 1 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 2 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 3 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 4 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 5 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 6 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 7 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 8 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 9 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 10 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 11 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 12 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 13 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 14 |
0 Comments