Dari Hutan Beton
Hingga Hutan Kayu
Pagi itu udara begitu menusuk
ketubuh, mungkin karena mentari belum mulai menampakan wajahnya, aku telah
sampai dikampus dan berada hanya beberapa puluh meter lagi untuk berada di
lapangan itu, dimana ternyata sudah ada banyak bus yang berjejer memenuhi lapangan
itu, dan semakin tampak terlihat penuh sesak oleh banyak orang yang sudah mulai
menempati tiap-tiap bus, aku dapat melihatnya dengan jelas sekali.
Saat itu dari tempatku berdiri,
aku dapat mendengar dengan sangat jelas suara gemuruh yang dihasilkan dari atas
lapangan itu memecah kesunyian fajar hari, suara knalpot-knalpot bus itu
semakin menjadi-jadi memekan telinga, seolah sang supir berkata “ayo kita
segera pergi, sudah mau pagi ini”, jelas saja karena perjalanan yang akan
ditempuh sangat jauh dan lama.
Selalu ada cara untuk
memanfaatkan waktu menunggu, aku melihat dengan mata kepalaku, dipinggir
lapangan ada banyak yang sedang mengabadikan moment keberangkatan mereka dengan
berphoto-photo dan membuat video. Tidak jauh dari mereka tepat dibawah pepohonan
nampak yang lainnya berdiskusi ringan atau hanya sekedar bercakap-cakap.
“tolong lempar talinya” terdengar
nyaring teriakan itu dari tengah lapangan, nampak kelompok yang lain sedang
mengepak dan merapikan barang-barang bawaan mereka diatas bus.
Seolah tak mau kalah, dari atas
bus disudut lapangan seseorang memukul-mukul dinding bus sambil berteriak “woi
kalo ngga mau sempit, barang-barang yang besar naikin kesini aja, mumpung masih
diatas nih”.
Pagi itu semua orang sangat sibuk
sekali, hampir semua bus masih terlihat sibuk merapikan barang-barang. Ada juga
yang sudah berada didalam bus dan bercakap-cakap didalam sana, seolah-olah
takut akan tertinggal oleh bus.
Suara dari bus-bus itu semakin
menjadi-jadi dan lapanganpun semakin bertambah penuh sesak, gadgetku pun
bergetar, sebuah pesan masuk yang bertanya “kamu sudah sampai dimana”. Akupun
bergegas sambil berjalan dengan langkah yang sedikit cepat memasuki lapangan untuk
menghampiri kelompokku, sambil menyapa semua teman-teman yang aku temui
dilapangan, tak hayal aku juga sedikit berphoto bersama mereka. Bahkan sempat
juga berdiskusi kecil bersama mereka hingga sampai tertawa.
Akupun bertemu kelompokku, dan
kami berdiskusi ringan sambil mengecek ulang kelengkapan semua perlengkapan
yang ada, untuk memastikan kembali bahwa tidak ada yang tertinggal.
Waktu yang ditunggupun tiba, kami
semua berkumpul didepan lapangan untuk dilepas oleh orang nomor satu di tempat
kami menimba ilmu dengan mengusung semangat tematik pos daya, kami pun dilepas.
Setelah dilepas dan mendapatkan
pengarahan secara langsung, kamipun memasuki bus masing-masing, saat itu
terdapat maksimal 3 kelompok untuk 3 daerah pengabdian yang sangat berdekatan
dalam satu bus. Didalam bus kami diisi oleh kelompok yang akan bertugas didesa
Tertap, Kedaton, dan Bandar Aji yang menurut cerita sejarah dulunya satu
sebelum dipecah menjadi 3.
Disepanjang perjalanan, kami
saling berkenalan dan berdiskusi sangat ringan antar kelompok. Ketika sudah
meninggalkan daerah perkotaan, hampir setiap orang didalam bus kami berdecak
kagum tak henti karena menyaksikan keindahan alam yang sangat sulit digambarkan
dengan kata-kata.
Perkebunan yang amat sangat
hijau, hutan belukar, dan jurang-jurang yang sangat curam tak henti kami
saksikan disepanjang jalan. Yang sangat membuat cemas adalah jalan yang sangat
kecil dan persis di pinggir jurang, hampir tak ada jarak lebih antara aspal dan
bibir jurang yang mungkin tak lebih dari satu meter saja.
Selain jurang yang curam, mata
kami juga serasa tak berhenti dibuat terpesona oleh alam, hampir disepanjang
jalan kami melihat daerah perkebunan durian milik warga yang buahnya sangat
lebat dan besar. Seolah melambai memanggil-manggil kami untuk menikmati manis
dagingnya, tapi yang hanya bisa dilakukan hanya meneguk ludah saja dan sambil
saling bertriak “wow lebat sekali buahnya, wow besarnya, pasti manis sekali
ya”, ha ha ha tidak apa-apa, setidaknya masih ada yang bisa dilakukan yakni
bereaksi positif saat melihat karunia kebesaran tuhan.
Perjalanan yang indah dan mengagumkan
ini tidak terasa membawa kami sampai pada sebuah pemberhentian pertama dalam
perjalanan panjang kami, kami mengira akan berhenti disebuah warung makan
karena saat itu waktu menunjukan saatnya istirahat, shalat dan makan.
Tetapi perkiraan itu salah, karena
kami menuju sebuah komplek semacam perumahan atau perkantoran, ah aku tak tau
pasti. Ternyata bus kami berhenti di sebuah halaman rumah mewah yang didepannya
terdapat pendopoan atau semacam tempat pertemuan tapi terbuka lengkap dengan jamuan makan siang
yang telah disiapkan. Tampak kelompok-kelompok dari bus lain telah sampai lebih
dahulu dan menduduki kursi-kursi yang telah disusun rapi oleh empunya tempat.
Ternyata tempat tersebut adalah sebuah
rumah dinas bupati dimana kami akan mengabdi di daerahnya, ternyata kami
mendapat sambutan secara langsung dari bapak bupati dirumah dinasnya lengkap
dengan jamuan yang dinantikan. Penyambutan berlangsung dengan lancar tahap demi
tahap acara, termasuk sambutan-sambutan inti dari perwakilan kami dan bupati.
Ditambah lagi bapak bupati
menitipkan kepada setiap kelompok beberapa macam bibit buah-buahan untuk dapat
ditanamkan di tempat kami mengabdi masing-masing seperti bibit rambutan,
cempedak, nangka dan sebagainya.
Kami kembali meneruskan
perjalanan setelah penyambutan resmi usai digelar, ketika hampir sampai
ditempat tujuan ada sesuatu yang kembali membuat cemas. Yang membuat adrenalin
memuncak, sebenarnya hanya sebuah belokan jalan saja, tetapi belokan ini
mungkin lebih menyeramkan dari kelok Sembilan, dan juga sangat terkenal di
Sumatera Selatan, yakni tikungan atau belokan yang bernama belikat.
Belokan ini berada di tanjakan
yang sangat menajak mungkin hampir 90 derajat dan curam dan berbentuk huruf L
mematah, yang sangat membuatnya menjadi lebih menakutkan adalah belokan ini
juga terletak dipinggir jurang yang sangat curam yang kedalamannya mungkin
lebih dari 50 meter dan hanya dibatasi oleh sebuah tembok biasa yang mungkin
memiliki tinggi sekitar 1 meter saja. Bisa dibayangkan jika terjatuh kedalam sana.
Tidak mungkin rasanya 2 bus dapat
melintas secara bersamaan, setiap bus harus mengalah untuk melintas secara
bergantian jika ingin sampai ditempat dengan selamat sampai tujuan, dan bus
tidak dapat berbelok secara langsung dikarenakan medan atau area jalan yang begitu
sempit, harus melakukan beberapa kali penyesuain badan bus agar dapat melintas.
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 1 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 2 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 3 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 4 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 5 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 6 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 7 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 8 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 9 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 10 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 11 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 12 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 13 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 14 |
0 Comments