“1440 Jam Di Desa Tertap “ Sebuah Desa Dikaki Gunung Dempo. bagian 2


Dari Hutan Beton Hingga Hutan Kayu

Pagi itu udara begitu menusuk ketubuh, mungkin karena mentari belum mulai menampakan wajahnya, aku telah sampai dikampus dan berada hanya beberapa puluh meter lagi untuk berada di lapangan itu, dimana ternyata sudah ada banyak bus yang berjejer memenuhi lapangan itu, dan semakin tampak terlihat penuh sesak oleh banyak orang yang sudah mulai menempati tiap-tiap bus, aku dapat melihatnya dengan jelas sekali.

Saat itu dari tempatku berdiri, aku dapat mendengar dengan sangat jelas suara gemuruh yang dihasilkan dari atas lapangan itu memecah kesunyian fajar hari, suara knalpot-knalpot bus itu semakin menjadi-jadi memekan telinga, seolah sang supir berkata “ayo kita segera pergi, sudah mau pagi ini”, jelas saja karena perjalanan yang akan ditempuh sangat jauh dan lama.

Selalu ada cara untuk memanfaatkan waktu menunggu, aku melihat dengan mata kepalaku, dipinggir lapangan ada banyak yang sedang mengabadikan moment keberangkatan mereka dengan berphoto-photo dan membuat video. Tidak jauh dari mereka tepat dibawah pepohonan nampak yang lainnya berdiskusi ringan atau hanya sekedar bercakap-cakap.

“tolong lempar talinya” terdengar nyaring teriakan itu dari tengah lapangan, nampak kelompok yang lain sedang mengepak dan merapikan barang-barang bawaan mereka diatas bus.

Seolah tak mau kalah, dari atas bus disudut lapangan seseorang memukul-mukul dinding bus sambil berteriak “woi kalo ngga mau sempit, barang-barang yang besar naikin kesini aja, mumpung masih diatas nih”.

Pagi itu semua orang sangat sibuk sekali, hampir semua bus masih terlihat sibuk merapikan barang-barang. Ada juga yang sudah berada didalam bus dan bercakap-cakap didalam sana, seolah-olah takut akan tertinggal oleh bus.

Suara dari bus-bus itu semakin menjadi-jadi dan lapanganpun semakin bertambah penuh sesak, gadgetku pun bergetar, sebuah pesan masuk yang bertanya “kamu sudah sampai dimana”. Akupun bergegas sambil berjalan dengan langkah yang sedikit cepat memasuki lapangan untuk menghampiri kelompokku, sambil menyapa semua teman-teman yang aku temui dilapangan, tak hayal aku juga sedikit berphoto bersama mereka. Bahkan sempat juga berdiskusi kecil bersama mereka hingga sampai tertawa.

Betapa sangat senang sekali hari itu, aku melihat tampak wajah semua orang terlihat bahagia, aku berfikir mungkin karena sebentar lagi akan menjalani sebuah bagian dari tahapan hidup yang sangat bermakna dan mungkin tak akan pernah dilupakan sepanjang hidup.

Akupun bertemu kelompokku, dan kami berdiskusi ringan sambil mengecek ulang kelengkapan semua perlengkapan yang ada, untuk memastikan kembali bahwa tidak ada yang tertinggal.

Waktu yang ditunggupun tiba, kami semua berkumpul didepan lapangan untuk dilepas oleh orang nomor satu di tempat kami menimba ilmu dengan mengusung semangat tematik pos daya, kami pun dilepas.

Setelah dilepas dan mendapatkan pengarahan secara langsung, kamipun memasuki bus masing-masing, saat itu terdapat maksimal 3 kelompok untuk 3 daerah pengabdian yang sangat berdekatan dalam satu bus. Didalam bus kami diisi oleh kelompok yang akan bertugas didesa Tertap, Kedaton, dan Bandar Aji yang menurut cerita sejarah dulunya satu sebelum dipecah menjadi 3.

Disepanjang perjalanan, kami saling berkenalan dan berdiskusi sangat ringan antar kelompok. Ketika sudah meninggalkan daerah perkotaan, hampir setiap orang didalam bus kami berdecak kagum tak henti karena menyaksikan keindahan alam yang sangat sulit digambarkan dengan kata-kata.

Perkebunan yang amat sangat hijau, hutan belukar, dan jurang-jurang yang sangat curam tak henti kami saksikan disepanjang jalan. Yang sangat membuat cemas adalah jalan yang sangat kecil dan persis di pinggir jurang, hampir tak ada jarak lebih antara aspal dan bibir jurang yang mungkin tak lebih dari satu meter saja.

Selain jurang yang curam, mata kami juga serasa tak berhenti dibuat terpesona oleh alam, hampir disepanjang jalan kami melihat daerah perkebunan durian milik warga yang buahnya sangat lebat dan besar. Seolah melambai memanggil-manggil kami untuk menikmati manis dagingnya, tapi yang hanya bisa dilakukan hanya meneguk ludah saja dan sambil saling bertriak “wow lebat sekali buahnya, wow besarnya, pasti manis sekali ya”, ha ha ha tidak apa-apa, setidaknya masih ada yang bisa dilakukan yakni bereaksi positif saat melihat karunia kebesaran tuhan.

Perjalanan yang indah dan mengagumkan ini tidak terasa membawa kami sampai pada sebuah pemberhentian pertama dalam perjalanan panjang kami, kami mengira akan berhenti disebuah warung makan karena saat itu waktu menunjukan saatnya istirahat, shalat dan makan.

Tetapi perkiraan itu salah, karena kami menuju sebuah komplek semacam perumahan atau perkantoran, ah aku tak tau pasti. Ternyata bus kami berhenti di sebuah halaman rumah mewah yang didepannya terdapat pendopoan atau semacam tempat pertemuan tapi  terbuka lengkap dengan jamuan makan siang yang telah disiapkan. Tampak kelompok-kelompok dari bus lain telah sampai lebih dahulu dan menduduki kursi-kursi yang telah disusun rapi oleh empunya tempat.

Ternyata tempat tersebut adalah sebuah rumah dinas bupati dimana kami akan mengabdi di daerahnya, ternyata kami mendapat sambutan secara langsung dari bapak bupati dirumah dinasnya lengkap dengan jamuan yang dinantikan. Penyambutan berlangsung dengan lancar tahap demi tahap acara, termasuk sambutan-sambutan inti dari perwakilan kami dan bupati.

Ditambah lagi bapak bupati menitipkan kepada setiap kelompok beberapa macam bibit buah-buahan untuk dapat ditanamkan di tempat kami mengabdi masing-masing seperti bibit rambutan, cempedak, nangka dan sebagainya.

Kami kembali meneruskan perjalanan setelah penyambutan resmi usai digelar, ketika hampir sampai ditempat tujuan ada sesuatu yang kembali membuat cemas. Yang membuat adrenalin memuncak, sebenarnya hanya sebuah belokan jalan saja, tetapi belokan ini mungkin lebih menyeramkan dari kelok Sembilan, dan juga sangat terkenal di Sumatera Selatan, yakni tikungan atau belokan yang bernama belikat.

Belokan ini berada di tanjakan yang sangat menajak mungkin hampir 90 derajat dan curam dan berbentuk huruf L mematah, yang sangat membuatnya menjadi lebih menakutkan adalah belokan ini juga terletak dipinggir jurang yang sangat curam yang kedalamannya mungkin lebih dari 50 meter dan hanya dibatasi oleh sebuah tembok biasa yang mungkin memiliki tinggi sekitar 1 meter saja. Bisa dibayangkan jika terjatuh kedalam sana.

Tidak mungkin rasanya 2 bus dapat melintas secara bersamaan, setiap bus harus mengalah untuk melintas secara bergantian jika ingin sampai ditempat dengan selamat sampai tujuan, dan bus tidak dapat berbelok secara langsung dikarenakan medan atau area jalan yang begitu sempit, harus melakukan beberapa kali penyesuain badan bus agar dapat melintas.

Tantangan itu berhasil dilewati hingga dengan mudah bagi driver-driver yang sudah sangat berpengalaman sehingga dapat menghantar kami ketujuan dengan keadaan selamat, rasa terima kasih tak terhigga untuk semua kesatria setir yang menahkodai bus-bus yang kami tumpangi.

Post a Comment

0 Comments