"Haus........, Ibu, aku pengen minum..." rengek si bungsu. "Ssstt.. tahan ya! baru juga beberapa jam" jawab sang ibu kepada anaknya. " Tapi aku ngga buat bu..." si bungsu terus merengek-rengek.
Berselang lima menit kemudian, sang ibu yang masih sibuk menyelesaikan berbagai pekerjaan di dapur, tidak mendengar lagi suara si bungsu dari ruang tengah. Lalu ia berjalan untuk melihat kondisi anaknya tersebut. Saat sampai di ruang tengah, sang ibu hanya tersenyum ketika mendapati sang bungsu sudah tertidur lelap di atas sofa yang empuk.
Nampaknya si bungsu kelelahan merengek dan berteriak minta minum kepada ibunya. Memang tahun ini adalah untuk pertama kalinya si bungsu di latih untuk berpuasa. Meskipun baru pertama kali, namun keluarganya tidak mengenal istilah latihan puasa setengah hari, melainkan seharian penuh. Berbanding terbalik dengan teman-temannya yang lain yang hanya berlatih setengah hari, itupun tidak setiap hari.
Akibat hal tersebut, bu Feyinoto sering mendapat pertanyaan dari para tetangganya. "Jangan terlalu keras bu mendidik anak" begitu ucap tetangganya dari waktu ke waktu. Meskipun si bungsu selalu merengek setiap hari, namun ia sidah berhasil menyelesaikan satu minggu penuh puasa Ramadhan kali ini tanpa bolong satupun.
Melihat kenyataan tersebut, mulai secara perlahan kritik terhadap bu Feyinoto berkurang. Hari itu si bungsu tertidur sangat pulas. Bahkan tidak terasa ia terbangun pukul setengah empat sore tepat saat azan shalat Ashar berbunyi.
"Apa sudah magrib bu?" Tanya si bungsu. "Belum, tinggal beberapa jam lagi" jawab sang ibu sembari tersenyum melihat sikap anaknya. "Ayo mandi dulu, nanti ibu ceritain cerita mau?" rayu sang ibu. "Yeeeeee..." si bungsu kegirangan mendengar hal tersebut.
Saat selesai, sang ibu menceritakan sebuah cerita sembari menunggu waktu berbuka puasa. "Ayo.. Ayoo... Ayooo... Cerita.... Cerita..." sorak si bungsu kegirangan. "Oke" jawab ibu sembari tersenyum-senyum.
Pada zaman sebelum kemerdekaan, di desa Woronto sebuah istilah ini berasal. Disetiap Ramadhan semua masyarakat desa tersebut selalu bergembira menyambut bulan suci itu. Pada awal bulan selalu diselenggarakan sebuah festival besar untuk menyambutnya. Terdapat banyak makanan dan hiburan, Seperti Pisang Air Merah yang kini kita sebut sebagai Kolak.
Namun festival tersebut hanya berlangsung selama seminggu di awal bulan saja. Setelah itu semuanya berjalan normal. Di pekan selanjutnya anak-anak biasanya menghabiskan waktu sore dengan bermain bersama, sembari menunggu waktu berbuka. Mereka bermain petak umpet, pukul lele, dan permainan tradisional lainnya.
Namun ada seorang anak perempuan yang sedikit unik. Namanya adalah Rityoku. Rityoku bulan Ramadhan tahun itu jarang terlihat bermain bersama anak-anak yang lainnya. Ia lebih sering terlihat membawa alat penangkap ikan dari bambu setiap sore menjelang, saat anak-anak yang lainnya mulai bermain bersama.
"Mau kemana Rit?" tanya salah seorang tetangga yang bertemu dengannya. "Ngabubuh ikan di grojokan sawah bu" jawab Rityoku. "Kamu ngga ikut bermain dengan teman-temanmu di balai desa?" tanya kembali tetangganya. "Engga ah, aku sudah bosen main begitu terus, mau coba sesuatu yang beda bu. Ngabubuh, lumayan sambil nungguin waktu buka puasa, pas pulang dapet ikan banyak, hehe" jawab Rityoku sambil membayangkan hasil tangkapannya nanti. "Oh begitu, ya sudah, hati-hati ya" seru tetangganya.
Hari demi hari terus berjalan seperti itu. Kebiasaan unik Rityoku tersebut semakin di ketahui oleh banyak orang, tidak terkecuali teman-teman sebayanya. Hingga olok-olokpun bermunculan kepada dirinya. Teman-temannya selalu menyapa Rityoku dengan sapaan khas ibu-ibu yang biasa bertanya kepada dirinya "Ngabubuh Rit?" yang diiringi nada mengejek.
Terus menerus hal tersebut terjadi. Namun setiap hari pula, saat Rityoku pulang, teman-temannya melihat hasil tangkapan ikan dan udang yang sangat banyak. Lama kelamaan teman-temannya juga tergiur dengan hasil tangkapan tersebut. Satu demi persatu teman-temannya ikut serta ngabubuh di gerojokan sawah bersama Rityoku.
Lama kelamaan seluruh teman-temannya ikut ngabubuh bersama Rityoku. Saat mereka di tanya mau kemana? Mereka menjawan mau ngabubuh dengan Rityoku. Sapaan yang awalnya merupakan olok-olok kepada Rityoku, perlahan berubah menjadi sebuah istilah untuk menyebutkan kegiatan mereka disawah.
Tidak hanya ngabubuh, tetapi berbagai aktivitas permainan tradisional turut berpindah lokasi di lapangan pinggiran sawah. Sebelum mulai bermain, mereka akan memasang bubuh di berbagai tempat di sawah, tidak hanya di grojokan saja, mengingat semakin banyak yang ikut. Ketika akan pulang, mereka memeriksa bubuh demi bubuh yang mereka pasang. Hal tersebut terus berlangsung hari demi hari selama bulan Ramadhan. Tidak hanya di tahun tersebut, tetapi berlanjut di tahun berikutnya.
Sapaan "Ngabubuh Rit?" semakin melekat dan populer di desa mereka. Sapaan yang awalnya bukan apa-apa berubah menjadi istilah untuk menyebutkan aktivitas tersebut. Tidak hanya didesa mereka, istilah tersebut juga turut menyebar ke berbagai desa tetanga. Hingga sangat populer di berbagai kalangan.
Perkembangan terus mengikuti aktivitas itu. Bahkan semakin banyak orang-orang yang juga hanya menonton anak-anak bermain dari sepeda mereka. Sembari bersama suami atau istri dan bahkan muda-mudi yang berpacaran. Pada akhirnya istilah Ngabuburit terus melekat dan populer di masyarakat hingga saat ini. Tentu dengan berbagai perkembangan yang mengiringinya.
Saat ini tentu tidak seperti zaman dahulu. Kegiatan Ngabuburit juga sudah semakin modern. Seperti menonton TV, bermain game, jalan-jalan ke Mall dan sebagainya. "Tamat....." teriak ibu si bungsu mengakhiri cerita tersebut. Si bungsu yang kegirangan mendengan cerita tersebut dengan wajah kecewa berkata "Yah ceritanya habis".
"Udah jangan sedih, besok ibu cerita yang lain lagi, sekarang kita siap-siap waktu berbuka udah dekat" ucap ibu si bungsu. Si bungsu berteriak kegirangan karna waktu berbuka sudah sangat dekat. "Ye.... Berbuka, besok cerita lagi ya bu" ucap si bungsu. "Iya" balasa sang ibu dengan tersenyum lebar.
*cerita ini adalah fiktif, kesamaan cerita, alur dan tokoh merupakan ketidaksengajaan
#RWC
#catatanramadhan2019
0 Comments