“1440 Jam Di Desa Tertap “ Sebuah Desa Dikaki Gunung Dempo. bagian 6

Mereka sangat ramah sekali dan dengan mudah mengenali kami meskipun hanya baru pertama kali bertemu, karena saat itu kami semua mengenakan jaket seragam. Mereka juga merekomendasikan untuk kepasar, sembari melihat-lihat desa. Selama dalam perjalanan kami masih dibuat tercengang dengan pemandangan alam didaerah ini baik dikanan dan kiri kami yang sangat indah. Disebelah kanan, kami dapat melihat gunung yang mulai menampakan keindahannya karena tersibak sinar matahari dan membuat mata kami seolah tak mau berpindah memandang keindahannya. Lalu tepat dibawah gunun terdapat hamparan sawah dimana padinya mulai menguning dan lahan pertanian sayuran yang sangat luas.

Disebelah kiri kami, terhampar luas kolam-kolam budidaya ikan, terlihat dengan jelas gemercik air di kolam tersebut akibat ikan-ikan yang sangat banyak yang seolah tidak sabar menunggu pemilik mereka memberi makan, dan hamparan nyiur yang melambai-lambai diantara kolam-kolam tersebut dan semakin membuatnya begitu elok dipandang.

Ditambah lagi suara air yang mengalir jernih dimana-mana semakin menambah ketenangan tempat ini, kamipun tidak melewatkan moment indah itu, kamipun langsung mengabadikan pemandangan-pemandangan itu dengan berphoto bersama, bahkan kami juga berphoto dipapan tanda selamat datang desa Tertap, sebagai moment abadi bahwasannya kami pernah berada disini.

Sampailah kami dipasar kecamatan yang ternyata tidak begitu jauh dari desa kami mungkin sekitar 20 sampai 25 menit berjalan kaki, setelah sampai kami dikejutkan dengan suatu fenomena yang sangat tidak lazim, hampir semua orang yang sedang berada dipasar membawa senjata tajam yang di selipkan dicelana mereka, sejenis pisau. Tetapi semua orang bersikap biasa saja, dan kamipun tidak dapat memberanikan diri bertanya karena khawatir menyinggung perasaan mereka dan juga khawatir hal tersebut adalah tradisi atau budaya.

Kami melanjutkan kegiatan berberlanja berbagai kebutuhan sehari-hari dan bahkan tidak lupa membeli mie instan sebanyak satu kardus, lalu dengan entengnya bendahara kelompok kami berkata “ini mie buat persiapan kalo cewe-cewe lagi males masak”, kami hanya mengangguk saja meskipun sedikit merasa aneh didesa yang harga sayur mayurnya sangat murah kami masih harus meyetok mie instan.

Pada kenyataannya mie instan tersebut tetap juga habis walau mereka tidak pernah malas memasak, sebuah fakta yang sangat mengejutkan sekali diamana mie instan nampaknya telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan konsumsi masyarakat sehari-hari, dan setelah selesai berbelanja kamipun pulang.

Setelah sampai dirumah, semua anggota sibuk melanjutkan aktivitas beres-beres, mulai dari membereskan belanjaan, dapur, menyapu dan mengepel lantai, membersihkan kaca-kaca, sampah yang berserakan dihalaman dan tangga, hingga menjadi tampak mengenakan dan sejuk dipandang.

Setelah selesai, kamipun memasang spanduk sebagai tanda pengenal yang telah kami siapkan sebelum berangkat ketempat ini, dan semenjak spanduk tersebut dipasang, maka secara resmi rumah tersebut kami sebut sebagai posko.

Waktu menunjukan hampir tengah hari saat semua kegiatan bersih-besih selesai, yang berarti waktunya makan siang telah tiba. Siang itu menjadi moment pertama menyantap masakan yang dimasak oleh perempuan kelompok kami, yang membuktikan bahwa mereka sangat ahli dalam memasak karena rasa masakan mereka yang sangat enak. Dihari pertama ini juga kami mendapat kunjungan pertama dari pembimbing lapangan kami, awalnya kami mengira bahwa mereka akan ikut tingal diposko kami tetapi semua salah dalam mengira, mereka hanya sekedar berkunjung secara beberapa kali untuk melihat kondisi kami dan berkoordinasi dengan kepala desa kami serta melakukan penilaian yang rasanya juga tidak cukup mewakili karena hanya dilakukan beberapa waktu saja, mungkin akan lebih menarik jika mereka ikut menetap untuk beberapa hari.

Tepat dimalam kedua kami mendapat ajakan kepala desa untuk berkumpul di masjid desa disore hari sebelumnya, meskipun kami belum mengetahui akan mengikuti kegiatan apa disana. Dimalam yang sudah ditentukan kamipun berangkat bersama kepala desa menuju masjid desa, setelah sampai didepan masjid, nampak terlihat tersusun dengan rapi sandal yang berjumlah sangat banyak sekali, setelah masuk kedalam masjid yang ternyata didalamnya telah ramai berkumpul seluruh pemuda dan pemudi desa.

Barulah kami sadar bahwa malam itu diagendakan kegiatan perkenalan antara kami dan muda-mudi dalam bahasa setempat atau pemuda, yang lebih diidentikan dengan nama karang taruna pada malam itu. Kamipun berkenalan secara resmi dan setelahnya kami melakukan bercakap-cakap satu sama lain untuk mengakrabkan diri dengan ditemani makanan dan kopi khas desa terta.

Semua laki-laki dan perempuan membaur berdiskusi ringan, saat itu juga aku dapat menilai karakter mereka yang terlihat dari penampilan mereka semua, jujur saja saat itu kami semua merasa sedikit khawatir dan takut karena sebagian dari mereka terlihat sangat menyeramkan, tetapi semua kekhawatiran itu perlahan berguguran dengan sikap baik yang mereka tunjukan selama kami berinteraksi dikemudian hari, tetapi kekhwatiran yang kami rasakan diawal merupakan sesuatu yang sangat wajar.

Post a Comment

0 Comments