Mereka sangat ramah sekali dan
dengan mudah mengenali kami meskipun hanya baru pertama kali bertemu, karena
saat itu kami semua mengenakan jaket seragam. Mereka juga merekomendasikan
untuk kepasar, sembari melihat-lihat desa. Selama dalam perjalanan kami masih
dibuat tercengang dengan pemandangan alam didaerah ini baik dikanan dan kiri
kami yang sangat indah. Disebelah kanan, kami dapat melihat gunung yang mulai menampakan
keindahannya karena tersibak sinar matahari dan membuat mata kami seolah tak
mau berpindah memandang keindahannya. Lalu tepat dibawah gunun terdapat
hamparan sawah dimana padinya mulai menguning dan lahan pertanian sayuran yang
sangat luas.
Disebelah kiri kami, terhampar
luas kolam-kolam budidaya ikan, terlihat dengan jelas gemercik air di kolam
tersebut akibat ikan-ikan yang sangat banyak yang seolah tidak sabar menunggu
pemilik mereka memberi makan, dan hamparan nyiur yang melambai-lambai diantara
kolam-kolam tersebut dan semakin membuatnya begitu elok dipandang.
Ditambah lagi suara air yang
mengalir jernih dimana-mana semakin menambah ketenangan tempat ini, kamipun
tidak melewatkan moment indah itu, kamipun langsung mengabadikan
pemandangan-pemandangan itu dengan berphoto bersama, bahkan kami juga berphoto
dipapan tanda selamat datang desa Tertap, sebagai moment abadi bahwasannya kami
pernah berada disini.
Sampailah kami dipasar kecamatan
yang ternyata tidak begitu jauh dari desa kami mungkin sekitar 20 sampai 25
menit berjalan kaki, setelah sampai kami dikejutkan dengan suatu fenomena yang
sangat tidak lazim, hampir semua orang yang sedang berada dipasar membawa
senjata tajam yang di selipkan dicelana mereka, sejenis pisau. Tetapi semua
orang bersikap biasa saja, dan kamipun tidak dapat memberanikan diri bertanya
karena khawatir menyinggung perasaan mereka dan juga khawatir hal tersebut
adalah tradisi atau budaya.
Kami melanjutkan kegiatan
berberlanja berbagai kebutuhan sehari-hari dan bahkan tidak lupa membeli mie instan
sebanyak satu kardus, lalu dengan entengnya bendahara kelompok kami berkata
“ini mie buat persiapan kalo cewe-cewe lagi males masak”, kami hanya mengangguk
saja meskipun sedikit merasa aneh didesa yang harga sayur mayurnya sangat murah
kami masih harus meyetok mie instan.
Pada kenyataannya mie instan
tersebut tetap juga habis walau mereka tidak pernah malas memasak, sebuah fakta
yang sangat mengejutkan sekali diamana mie instan nampaknya telah menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan konsumsi masyarakat sehari-hari,
dan setelah selesai berbelanja kamipun pulang.
Setelah sampai dirumah, semua
anggota sibuk melanjutkan aktivitas beres-beres, mulai dari membereskan
belanjaan, dapur, menyapu dan mengepel lantai, membersihkan kaca-kaca, sampah
yang berserakan dihalaman dan tangga, hingga menjadi tampak mengenakan dan
sejuk dipandang.
Setelah selesai, kamipun memasang
spanduk sebagai tanda pengenal yang telah kami siapkan sebelum berangkat
ketempat ini, dan semenjak spanduk tersebut dipasang, maka secara resmi rumah
tersebut kami sebut sebagai posko.
Waktu menunjukan hampir tengah
hari saat semua kegiatan bersih-besih selesai, yang berarti waktunya makan
siang telah tiba. Siang itu menjadi moment pertama menyantap masakan yang
dimasak oleh perempuan kelompok kami, yang membuktikan bahwa mereka sangat ahli
dalam memasak karena rasa masakan mereka yang sangat enak. Dihari pertama ini
juga kami mendapat kunjungan pertama dari pembimbing lapangan kami, awalnya
kami mengira bahwa mereka akan ikut tingal diposko kami tetapi semua salah
dalam mengira, mereka hanya sekedar berkunjung secara beberapa kali untuk
melihat kondisi kami dan berkoordinasi dengan kepala desa kami serta melakukan
penilaian yang rasanya juga tidak cukup mewakili karena hanya dilakukan beberapa
waktu saja, mungkin akan lebih menarik jika mereka ikut menetap untuk beberapa
hari.
Tepat dimalam kedua kami mendapat
ajakan kepala desa untuk berkumpul di masjid desa disore hari sebelumnya,
meskipun kami belum mengetahui akan mengikuti kegiatan apa disana. Dimalam yang
sudah ditentukan kamipun berangkat bersama kepala desa menuju masjid desa,
setelah sampai didepan masjid, nampak terlihat tersusun dengan rapi sandal yang
berjumlah sangat banyak sekali, setelah masuk kedalam masjid yang ternyata
didalamnya telah ramai berkumpul seluruh pemuda dan pemudi desa.
Barulah kami sadar bahwa malam
itu diagendakan kegiatan perkenalan antara kami dan muda-mudi dalam bahasa
setempat atau pemuda, yang lebih diidentikan dengan nama karang taruna pada
malam itu. Kamipun berkenalan secara resmi dan setelahnya kami melakukan
bercakap-cakap satu sama lain untuk mengakrabkan diri dengan ditemani makanan
dan kopi khas desa terta.
Semua laki-laki dan perempuan
membaur berdiskusi ringan, saat itu juga aku dapat menilai karakter mereka yang
terlihat dari penampilan mereka semua, jujur saja saat itu kami semua merasa
sedikit khawatir dan takut karena sebagian dari mereka terlihat sangat
menyeramkan, tetapi semua kekhawatiran itu perlahan berguguran dengan sikap
baik yang mereka tunjukan selama kami berinteraksi dikemudian hari, tetapi
kekhwatiran yang kami rasakan diawal merupakan sesuatu yang sangat wajar.
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 1 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 2 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 3 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 4 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 5 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 6 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 7 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 8 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 9 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 10 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 11 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 12 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 13 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 14 |
0 Comments