REVOLUSI
MENTAL SUKSES!!!
Oleh
Muhammad Ali Al Husain (nama pena :Muhammad Ali Asetiah)
“Everybody is
journalist” adalah sebuah kalimat yang menurut saya sangat relevan dengan
kondisi kita saat ini, dimana kondisi nasional sedang memanas semenjak pendaftaran
resmi calon presiden dan wakil presiden tahun 2019 oleh kedua pasangn calon
resmi yang mendaftar.
Sebagai residu dari proses ini muncul dua buah kata yang tiba-tiba
menjadi viral di jagat raya dunia maya Indonesia yakni cebong dan kampret. Yang
menurut saya kata-kata ini muncul secara ilmiah sebagai sebuah reaksi atas
proses pendaftaran tersebut, atau bahkan mungkin sengaja diciptakan oleh masing-masing
tim kampanye untuk menganalisa dan memetakan para pendukung dan masa simpatisan
dari lawan team rival masing-masing.
Saya berasumsi bahwa rangkaian fenomena
ini adalah hasil yang muncul baik secara langsung ataupun tidak langsung dari
jargon yang digaungkan oleh presiden yakni revolusi mental.
Dimana rakyat yang
dahulunya menggunakan kemajuan teknologi ini (sosmed) dengan secara bijak
(berbagi ilmu, mengkritik kebijakan untuk lebih baik, menyuarakan aspirasi)
kini bertransformasi menjadi kurang bijiak, dimana julukan-julukan yang
diidentikan kepada pihak-pihak yang bersebrangan dengan pandangan mereka atau
bahkan bisa saya katakan sebagai lawan mereka, dua buah kata yang dapat
ditafsirkan oleh siapa saja secara bebas dan tidak bertanggung jawab.
Saya
ingin mengutip perkataan Sujiwo Tejo yang di ucapkan oleh beliau di sebuah acara
program televisi swasta pada episode yang berjudul “kampanye belum, perang
sosmed sudah dimulai”, tentang bagaimana cara memaknai dua kata tersebut dari
sudut pandang budaya, yakni bahwa Retno anjani bertapa sebagai kecebong hingga
melahirkan hanoman, dan dengan tapa kelalawar selama 12 tahun resi subali baru
mengetahui bahwa bumi sangat mencintai manusia, hingga sampai ibu pertiwi bersumpah
kepada resi subali “selama kamu menyentuh bumi kamu akan hidup lagi”.
Maka
kedua kata tersebut tidak mendapatkan masalah, tetapi saya tidak yakin bahwa
netizen tidak mengartikan demikian dan mungkin cenderung mengartikannya secara
negative.
Saat ini media social
berubah menjadi sarana yang sangat aktif dalam menjadi salah satu unsur
kehidupan manusia, sebelum dua kata tersebut menjadi raja di sosial media belakangan
ini, mungkin ini adalah effek dari sebuah kalimat yang dikampanyekan oleh
presiden yakni “Revolusi Mental”.
Saya berasumsi bahwa revolusi mental jika
tinjau dari sisi psikologi dan rasa tanggung jawab, jargon ini dapat saya
katakan sangat suskses dan membuahkan hasil yang sangat besar.
Beberapa
indikatornya adalah beberapa pidato menteri kabinet kerja yang beberapa waktu
yang lalu menjadi viral dan sangat meresakan dan menuai kritik pedas dari semua
kalangan rakyat Indonesia, yang ucapan-ucapan mereka dapat diwakili oleh
anak-anak setingkat sekolah dasar saja, antara lain “harga cabai mahal, rakyat
harus tanam sendiri”, “harga telur melambung tinggi karena piala dunia”, dan ini
juga menular hingga satu level dari menteri yakni seorang gubernur yang
menanggapi rakyatnya yang sedang mengahadapi situasi sulit dimanya mereka tidak
mempunyai stok beras, lalu gubernur tersebut berkomentar agar masyarakat lebih
baik makan tiwul saja kalau tidak mempunyai cadangan beras untuk kedepan.
Ucapan-ucapan tersebut dapat dengan mudah kita cari dan kita temukan, ada
banyak media cetak mupun online yang memberitakannya.
Saya berpendapat hal-hal
tersebut sangat layak untuk dapat dianggap sebagai sebuah indikator-indikator
keberhasilan yang sangat luar biasa dari revolusi mental dan karena memang telah terjadi perubahan yang
sangat luar biasa atau revolusi pada mental terutama pada pimpinan-pimpinan
tinggi negara yang sepengetahuan penulis dari semenjak republik ini di akui
sebagai Negara yang berdalulat di mata dunia, mayoritas para pemimpin tinggi negara
ini cenderung berpidato yang normative dalam setiap pidato mereka dalam
menanggapi berbagai isu atau permasalahan baik ekonomi, sosial, dan hukum yang
dihadapi oleh bangsa dan Negara.
Dan sebagian isi pidatonya relative sama
secara garis besar, yang mungkin dapat saya simpulkan, yakni “pemerintah akan
berusaha sekeras mungkin untuk segera mencari jalan keluar yang terbaik untuk rakyat
Indonesia atas permasalahan yang sedang melanda kita” yang dalam perjalanannya
komentar atau tanggapan dari pemerintah yang semacam ini dianggap sebagai
komentar yang normative oleh rakyat, dimana pemerintah berusaha menahan aksi
unjuk rasa atau serbuan asumsi-asumsi yang miring dengan bersembunyi dibalik
respon-respon yang normative.
Tetapi saya sendiri harus mengakui bahwasannya
tanggapan-tanggapan tersebut menghasilkan sebuah effek dimana rakyat sedikit
menjadi sedikit tenang dengan pernyatan yang dianggap normative.
Disisi lainnya saya
menilai bahwasannya perkataan-perkataan yang keluar dari para pemimpin saat ini
yang perkataan mereka dapat diwakilkan oleh anak sekolah dasar itu, justru
menimbukan keresahan – keresahan yang sangat mendalam di masyarakat terutama
kalangan rakyat bawah atau miskin, dimana tidak ada pemimpin yang mampu bahkan hanya sekedar
memberikan sebuah jaminan ketenangan dan jaminan atas upaya penyelesaian sebuah
masalah yang dihadapi tersebut.
Saya berasumsi bahwasannya ini merupakan sebuah
hasil dari revolusi mental tetapi hasilnya justru negative.
Mungkin sebagian
orang akan berkata bahwa ucapan-ucapan itu adalah hal yang biasa yang mungkin
para pemimpin tersebut ucapkan sedang dalam keadaan stress atas masalah-masalah
yang dihadapi.
Dan saya memandang sebaliknya bahwa, sebuah kalimat yang
diucapkan akan mendapatkan besaran reaksi bergantung pada siapa yang mengucapkannya
dan apa jabatan yang dimiliki oleh orang yang mengucapkannya, mungkin jika yang
mengucapkan kalimat-kalimat itu adalah anak sekolah dasar maka saya pastikan
tidak akan mendapatkan respon yang sangat reaksionis.
0 Comments