Kegiatan ini kami lakukan selama
satu minggu penuh tanpa henti pada pekan pertama sehingga kami dapat
mengunjungi semua penjuru desa, dengan melakukan hal tersebut kami merasa
menjadi bagian masyarakat desa seutuhnya.
Berdiskusi tanpa ragu dan takut
salah, ada sebuah tradisi yang sangat unik di masyarakat desa tertap ini ketika
ada seseorang berkunjung atau “busik”
dalam bahasa desa tertap kerumahnya, mereka akan menghidangkan “ayek” atau kopi khas daerah ini, dan hal
tersebut seperti menjadi sebuah kewajiban bagi mereka. Seseorang yang
berkunjung tidak akan diperbolehkan pergi dari rumah mereka jika belum meminum
ayek yang dihidangkan oleh mereka, mereka akan merasa tersinggung jika kita
menolak.
Hal tersebut juga yang kami
rasakan saat melakukan mapping of areas, dalam
satu hari kami dapat mengunjungi sampai sepuluh rumah warga desa, dan disetiap
rumah kami selalu disajikan ayek dan
tak jarang juga kue-kuean, dan bayangkan saja kami harus menghabiskan setiap ayek yang dihidangkan yang artinya kami
harus menenggak air kopi setidaknya sepuluh gelas dalam satu hari, dan tidak
jarang pula kami menolak untuk dibuatkan ayek
dengan alasan sudah meminum ayek di
rumah warga sebelumnya dan penolakan kamipun tidak ada artinya karena ayek demi ayek akan tetap terhidangkan, dan mereka berkata tidak boleh pergi
sebelum menghabiskan ayek yang
dihidangkan.
Bertransformasilah diri kami yang
sebelumnya sangat jarang minum kopi bahkan hanya untuk satu kali dalam satu
bulan menjadi orang yang bisa disebut sebagai maniak selama berada didesa
tertap.
Sebagai masyarakat, mereka tidak
pernah terlepas dari sikap untuk selalu melakukan perbandingan antara satu hal
dengan hal yang lainnya dan aku fikir ini merupakan hal yang sangat biasa dan
wajar sebagai hukum alam. Kelompok kamipun tidak dapat terelak dari hal
tersebut, kelompok kami dibanding-bandingkan dengan kelompok desa sebelah.
Hal itu terungkap ketika waktu briefing salah satu anggota kelompok
menyampaikan hal tersebut, bahwa ia secara tidak langsung mendapatkan sindiran
dari masyarkat ketika sedang berbelanja sesuatu diwarung, “wah kelompok desa x
mahasiswanya rajin-rajin dan aktif ya bu, hampir setiap hari melakukan kerja
bakti bersih-bersih jalan, masjid, dan selokan” diperagakan olehnya dengan
sedikit kesal.
Teman saya yang wanita ini sangat
tersulut perasaannya, dan sedikit dengan nada menuntut kepada saya “kenapa kita
belum ada kegiatan gotong royong sih” tambahnya. Aku coba memberikan pengertian
demi pengertian bahwa sikap seperti itu tidak perlu ditanggapi dan diambil hati
karena merupakan hal yang biasa, kita tinggal disini bukan hanya satu pekan,
maka dari itu kita perlu perencanaan program yang matang dan tepat.
Semua itu hanya bisa didapatkan
jika kita melakukan observasi
lapangan, perkara kerja bakti adalah hal yang sangat gampang atau mudah
dilakukan, dan tidak mungkin selama beberapa bulan setiap harinya diisi dengan
kegiatan bersih-bersih lingkungan, karena rumput tidak tumbuh tinggi dalam
waktu satu pekan hingga dua pekan.
Mereka dapat menerima
penjelasanku dan tidak mempedulikan perkataan demi perkataan miring itu, setelah
pekan demi pekan berjalan sindiran itu berbalik, tepatnya ketika berjalan pekan
kedua dan selanjutnya, dikarenakan kelompok kami semakin aktif dalam program
yang kami susun berbekal data yang baik dalam perencanaan kegiatan, dan
kelompok lain semakin kehabisan ide apa yang akan dilakukan. Dan sedikit mulai
tampak senyum dari kelompok kami.
Langkah-langkah terseut diambil
berdasarkan beberapa artikel tentang pengabdian yang dilakukan oleh mahasiswa
dijawa, mereka mampu menghasilkan sesuatu yang membekas dan bermanfaat yang
tentu saja didasarkan pada perencanaan yang baik, misalnya saja kampung warna
di kota malang yang sangat terkenal itu dan menjadi sumber penghasilan luar
biasa bagi warganya merupakan sebagai hasil dari tugas kuliah, dimana mereka mengubah
kawasan kumuh menjadi kawasan wisata yang bersih dan indah. Dan hal inilah yang
menjadi motivasi.
Dari temuan-temuan kami
dilapangan sangat membantu pribadi kami dalam bersikap, sebagai contoh dari
data social ethics dan adat kebiasaan masyarakat, kami bisa memahami bagaimana
harus bersikap dalam beriteraksi dengan masyarakat baik yang tua dan muda.
Salah satu tetangga kami mengatakan bahwa masyarakat desa berprinsip jika
kalian baik kami akan lebih baik lagi dan sebaliknya, dan itu sangat membantu dalam
berkomunikasi.
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 1 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 2 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 3 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 4 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 5 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 6 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 7 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 8 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 9 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 10 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 11 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 12 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 13 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 14 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 1 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 2 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 3 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 4 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 5 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 6 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 7 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 8 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 9 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 10 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 11 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 12 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 13 |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 14 |
0 Comments