"1440 Jam di Desa Tertap" Sebuah Desa di Kaki Gunung Dempo. bagian 8


Kegiatan ini kami lakukan selama satu minggu penuh tanpa henti pada pekan pertama sehingga kami dapat mengunjungi semua penjuru desa, dengan melakukan hal tersebut kami merasa menjadi bagian masyarakat desa seutuhnya.

Berdiskusi tanpa ragu dan takut salah, ada sebuah tradisi yang sangat unik di masyarakat desa tertap ini ketika ada seseorang berkunjung atau “busik” dalam bahasa desa tertap kerumahnya, mereka akan menghidangkan “ayek” atau kopi khas daerah ini, dan hal tersebut seperti menjadi sebuah kewajiban bagi mereka. Seseorang yang berkunjung tidak akan diperbolehkan pergi dari rumah mereka jika belum meminum ayek yang dihidangkan oleh mereka, mereka akan merasa tersinggung jika kita menolak.

Hal tersebut juga yang kami rasakan saat melakukan mapping of areas, dalam satu hari kami dapat mengunjungi sampai sepuluh rumah warga desa, dan disetiap rumah kami selalu disajikan ayek dan tak jarang juga kue-kuean, dan bayangkan saja kami harus menghabiskan setiap ayek yang dihidangkan yang artinya kami harus menenggak air kopi setidaknya sepuluh gelas dalam satu hari, dan tidak jarang pula kami menolak untuk dibuatkan ayek dengan alasan sudah meminum ayek di rumah warga sebelumnya dan penolakan kamipun tidak ada artinya karena ayek demi ayek akan tetap terhidangkan, dan mereka berkata tidak boleh pergi sebelum menghabiskan ayek yang dihidangkan.
Bertransformasilah diri kami yang sebelumnya sangat jarang minum kopi bahkan hanya untuk satu kali dalam satu bulan menjadi orang yang bisa disebut sebagai maniak selama berada didesa tertap.

Sebagai masyarakat, mereka tidak pernah terlepas dari sikap untuk selalu melakukan perbandingan antara satu hal dengan hal yang lainnya dan aku fikir ini merupakan hal yang sangat biasa dan wajar sebagai hukum alam. Kelompok kamipun tidak dapat terelak dari hal tersebut, kelompok kami dibanding-bandingkan dengan kelompok desa sebelah.

Hal itu terungkap ketika waktu briefing salah satu anggota kelompok menyampaikan hal tersebut, bahwa ia secara tidak langsung mendapatkan sindiran dari masyarkat ketika sedang berbelanja sesuatu diwarung, “wah kelompok desa x mahasiswanya rajin-rajin dan aktif ya bu, hampir setiap hari melakukan kerja bakti bersih-bersih jalan, masjid, dan selokan” diperagakan olehnya dengan sedikit kesal.

Teman saya yang wanita ini sangat tersulut perasaannya, dan sedikit dengan nada menuntut kepada saya “kenapa kita belum ada kegiatan gotong royong sih” tambahnya. Aku coba memberikan pengertian demi pengertian bahwa sikap seperti itu tidak perlu ditanggapi dan diambil hati karena merupakan hal yang biasa, kita tinggal disini bukan hanya satu pekan, maka dari itu kita perlu perencanaan program yang matang dan tepat.

Semua itu hanya bisa didapatkan jika kita melakukan observasi lapangan, perkara kerja bakti adalah hal yang sangat gampang atau mudah dilakukan, dan tidak mungkin selama beberapa bulan setiap harinya diisi dengan kegiatan bersih-bersih lingkungan, karena rumput tidak tumbuh tinggi dalam waktu satu pekan hingga dua pekan.

Mereka dapat menerima penjelasanku dan tidak mempedulikan perkataan demi perkataan miring itu, setelah pekan demi pekan berjalan sindiran itu berbalik, tepatnya ketika berjalan pekan kedua dan selanjutnya, dikarenakan kelompok kami semakin aktif dalam program yang kami susun berbekal data yang baik dalam perencanaan kegiatan, dan kelompok lain semakin kehabisan ide apa yang akan dilakukan. Dan sedikit mulai tampak senyum dari kelompok kami.

Langkah-langkah terseut diambil berdasarkan beberapa artikel tentang pengabdian yang dilakukan oleh mahasiswa dijawa, mereka mampu menghasilkan sesuatu yang membekas dan bermanfaat yang tentu saja didasarkan pada perencanaan yang baik, misalnya saja kampung warna di kota malang yang sangat terkenal itu dan menjadi sumber penghasilan luar biasa bagi warganya merupakan sebagai hasil dari tugas kuliah, dimana mereka mengubah kawasan kumuh menjadi kawasan wisata yang bersih dan indah. Dan hal inilah yang menjadi motivasi.

Dari temuan-temuan kami dilapangan sangat membantu pribadi kami dalam bersikap, sebagai contoh dari data social ethics dan adat kebiasaan masyarakat, kami bisa memahami bagaimana harus bersikap dalam beriteraksi dengan masyarakat baik yang tua dan muda. Salah satu tetangga kami mengatakan bahwa masyarakat desa berprinsip jika kalian baik kami akan lebih baik lagi dan sebaliknya, dan itu sangat membantu dalam berkomunikasi.


1440 Jam di Desa Tertap, bagian 1      | 

1440 Jam di Desa Tertap, bagian 2      
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 3      | 
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 4      | 
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 5      | 
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 6      | 
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 7      |
 1440 Jam di Desa Tertap, bagian 8     |  
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 9      |  
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 10    | 
 1440 Jam di Desa Tertap, bagian 11   | 
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 12    |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 13    |
1440 Jam di Desa Tertap, bagian 14    |

Post a Comment

0 Comments